Entri Populer

Sabtu, 02 Juni 2012

Kritik Buku Kumpulan Cerpen T(w)ITIT! Oleh Fhatoni

Kritik Buku Kumpulan Cerpen T(w)ITIT!

Oleh Fhatoni


Djenar Maesa Ayu lahir di Jakarta, 14 Januari 1973. Ia telah menerbitkan empat kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, dan sebuah novel berjudul Nayla. Cerpennya yang berjudul “Menyusu Ayah” menjadi cerpen terbaik Jurnal Perempuan 2003, sementara “Waktu Nayla” meraih penghargaan Cerpen Terbaik Kompas di tahun yang sama.
Selain menulis, Djenar juga menyutradai film Mereka Bilang, Saya Monyet! (2008) dan SAIA (2009). Ia mendapat Piala Citra dari kategori Skenario Adaptasi Terbaik bersama Indra Herlambang dan sebagai Sutradara Baru Terbaik pada Festival Film Indonesia 2009.
Kumpulan cerpen T(w)ITIT! Adalah buku keenam Djenar. Buku Djenar ini dibuat sebagai hadiah ulang tahun untuknya sendiri. Semua cerita yang terdapat dalam kumpulan cerpen pada buku T(w)ITIT dikembangkan berdasarkan status-status jejaring sosial Twitter. Kumpulan cerpen ini terdiri dari 11 status twitter yang kemudian dikembangkannya menjadi 11 judul cerpen.
Status pertama adalah kematian tak akan pernah bisa mati  yang dikembangkannya menjadi sebuah cerpen yang berjudul UGD. Cerpen UGD menceritakan tentang Nayla dan seseorang bernama Sumali yang ingin bertemu di sebuah kafe, namun pertemuan mereka terhambat oleh beberapa hal yang pada akhirnya berujung di rumah sakit. Dalam cerpen ini terdapat hal yang menarik dari segi penulisan cerpen. Pada kalimat awal setiap paragraf, kata kerjanya selalu sama dengan kata kerja kalimat awal paragraf selanjutnya.
Sumali menunggu di sudut kafe dengan pelupuk mata yang semakin memberat sambil menggenggam secarik surat.
Nayla menunggu di sudut ruang tunggu Unit Gawat Darurat sambil menggenggam secarik surat.

  Seperti yang terihat pada contoh paragraf dalam cerpen UGD, kedua kalimat tersebut memiliki kata kerja yang sama, yaitu menunggu dan menggenggam.
Status twitter yang kedua adalah deeper than my fear of what might happen to this country is my despair yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah cerpen yang berjudul Nayla. Cerpen Nayla di sini hanya menceritakan kejadian perkosaan terhadap diri Nayla saat masih kecil. Yang menarik dari cerpen ini adalah kesamaan antara paragraph awal dengan paragraph mejelang akhir. Kesamaan ini terjadi juga pada beberapa cerpen yang lain seperti Mimpi Nayla, Kosong, dan Petasan, Setan.
Status twitter ketiga adalah bagaimana mungkin mengelak dari luka dan kebahagiaan, pertemuan dan perpisahan, jika kita tak kuasa memilih kelahiran dan menunda kematian? Yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah cerpen yang berjudul Mimpi Nayla. Menceritakan tentang Nayla yang saat itu sudah memiliki seorang cucu, ia bermimpi bahwa saat perjalanan keluarga besan, anak-anak, dan cucunya pergi ke Eropa. Dan beberapa saat setelahnya dia mendengar kabar bahwa pesawat yang ditumpangi keluarganya jatuh dan menewaskan semua penumpangnya.
Keempat, status twitternya kehilangan adalah proses awal menemukan yang dikembangkannya menjadi sebuah cerpen berjudul Jinxie. Menceritakan tentang perdebatan Nayla dengan seseorang yang tidak setuju dengan cerita buatan Nayla. Orang itu menganggap karya yang Nayla buat terlalu rendah, Nayla yang membuat karya itu berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri merasa terhina dan akhirnya melanjutkan perdebatan itu dengan pertengkaran. Perdebatan dan pertengkaran itu dihiasi dengan umpatan-umpatan kata-kata “anjing” yang membuat Nayla menjadi murka. Nayla yang tidak bisa menahan emosinya pergi menemui anjing kecil di pinggir jalan yang menjadi saksi bisu atas rahasia Nayla.
Kelima, status twitternya status twitter oleh beberapa orang sering ditenggarai sebagai isyarat. Sorry, kamu salah alamat! dikembangkannya menjadi cerpen T(w)ITIT!. Menceritakan tentang kehidupan Nayla sebagai seorang single parent yang diburu oleh deadline naskah yang dibuatnya ditambah berbagai permasalahan seperti kebutuhan sekolah anak semata wayangnya dan masalah salah paham pada status-status di twitternya. Cerpen yang dibuat Djenar ini pada awalnya berawal dari status twitternya yang sering dibalas dan diteruskan oleh para pembacanya,namun ada saja beberapa orang yang salah mengartikan status-status tersebut hingga membuat pembaca-pembacanya menjadi besar hati.
Keenam, status twitternya I believe in love without proof yang kemudian dikembangkan menjadi cerpen Kosong. Menceritakan tentang proses berpikir Nayla saat menulis yang dilakukannya di sebuah kafe dengan ditemani secangkir kopi. Di sana Nayla sering mendapat pertanyaan “mengapa selalu di kafe ini?” Karena Nayla sering menghabiskan waktunya dengan secarik kertas kosong bersama secangkir kopi di kafe tersebut, entah nantinya ia menulis atau tidak. Bahkan ia bisa berdiam di kafe tersebut hingga kafe menjelang tutup, hanya karena suasananya nyaman untuk menulis. Gaya penceritaan pada cerpen ini sama halnya dengan cerpen Nayla dan Mimpi Nayla, yaitu mengulang paragraf awal di bagian menjelang akhir cerpen.
Ketujuh, status twitternya Bung, di hari ulang tahunmu yang cerah ini ada segumpal awan yang mengandung mendung. Mungkin ia tahu, saya masih berkabung dikembangkannya menjadi sebuah cerpen berjudul Bung. Cerpen ini menceritakan tentang Nayla yang mengingat-ingat tentangg ayahnya yang meninggal saat Nayla masih kecil. Ibunya menceritakan bahwa Ayah Nayla meninggal saat ia berumur 1 tahun, namun setelah Nayla mengingat kembali tahun pada batu nisan makam Ayahnya, ia baru mengetahui sebuah kenyataan karena hanya sekali ia diajak mengunjungi makam Ayahnya yang bernama Bungsuman. Ayah Nayla yang bernama Bungsuman telah meninggal sejak Nayla berumur 7 tahun, dan itu selalu ditutupi oleh ibunya.
Kedelapan, status twitternya jika ada anak panah yang menusukmu, berharaplah itu bukan berasal dari busur jenuhku yang dikembangkannya menjadi sebuah cerpen berjudul It Takes Two to Tattoo. Menceritakan perdebatan Nayla dengan Gery tentang masalah tato. Nayla menganggap tato itu hanya menyiksa diri. Perdebatan yang menjadi tambah sengit akhirnya membuat Nayla berdebat pula dengan imajinasinya dengan membayangkan Gery yang tergeletak tanpa suara bersimbah darah terkena peluru dan Nayla meninggalkannya.
Kesembilan, status twitternya we’re not born to be something we’re not yang dikembangkannya menjadi cerpen berjudul Check In. menceritakan tentang perselingkuhan suaminya yang bernama Astina. Saat Astina hendak pergi ke sebuah kamar yang sering dipakai pacaran pada malam minggu, mobilnya tertabrak oleh mobil di belakangnya. Setelah diperhatikan, ternyata yang mengendarai mobil itu adalah Nayla dan disebelahnya terdapat seorang lelaki. Mereka juga ternyata menuju tempat pasangan muda-mudi singgah pada malam minggu.
Kesepuluh, status twitternya jadilah mimpi, yang menyelinap saat ia tak sadar diri dan terbangun tanpa tahu jika hatinya telah tercuri yang dikembangkannya menjadi sebuah cerppen berjudul Petasan, Setan!. Cerita ini menceritakan tentang kehidupan yang tidak pernah tenang dan damai. Ia tidak pernah bisa tidur dengan aman dan nyaman sama penggambarannya dalam cerpen. Dalam cerpen kenyamanan tidurnya terganggu oleh bunyi-bunyi bising petasan hari raya. Sama seperti bisingnya masalah dalam hidup Nayla.
Kesebelas, status twitternya hidup bukan untuk mencari perhentian tapi untuk melakukan perjalanan yang dikembangkannya menjadi sebuah cerpen berjudul Coffeewar. Cerpen ini menceritakan tentang pertengkaran Nayla dengan Dia. Pertengkaran ini diawali dengan umpatan-umpatan yang dilontarkan oleh Dia kepada para pengendara lain saat lalu lintas padat. Dan setelah mereka jauh, Nayla merasa kehilangan dan mulai timbul kerinduan untuk kembali merasakan cinta.
 Buku kumpulan cerpen T(w)ITIT! yang ditulis Djenar ini, dibuat disela ia menyiapkan sebuah novel yang berjudul Ranjang. Ia menyempatkan diri membuat kumpulan cerpen ini sebagai hadiah ulang tahunnya sendiri, bahkan 10 dari 11 cerpen-cerpen tersebut ia buat dalam waktu sepuluh hari.
Djenar memang sebagai penulis memiliki kelebihan dalam meluapkan emosinya ke dalam karya sastra. Ia menetralisir hal-hal tabu yang menjamur di masyarakat ke dalam cerpennya, mengubah pola pikir masyarakat tentang kepribadian seorang wanita. Memang terkadang ada beberapa cerpen yang ditentang segelintir orang karena dianggap mengandung unsur-unsur pornografi.
Kesepian, kehampaan, cinta yang bertepuk sebelah tangan, pengkhianatan, perselingkuhan, hubungan cinta yang berada di ambang keraguan, dan berbagai perasaan murung yang menimpa anak manusia melatari fragmen cerita. Relasi antartokoh pun menjadi sesuatu yang rapuh dan muram.
Tema di atas diperkuat dengan hadirnya kafe sebagai latar spesial yang mendominasi sebagian besar cerpen, seperti banyak karya Djenar Maesa Ayu lainnya. Kafe menjadi arena pertarungan para tokohnya. Di dalamnya, tokoh-tokoh Djenar, manusia-manusia kelas menengah kota yang kesepian itu, berhadapan satu lawan satu dengan dirinya sendiri. Bersama gelas-gelas bir, terkadang secangkir kopi, mereka bertarung dan bernegosiasi dengan kenangan.
Melalui karya-karyanya, kita dapat mengetahui bahwa Djenar memperjuangkan hak-hak perempuan (khususnya dalam hal seks). Djenar menggambarkan tokoh Nayla sebagai perempuan yang menolak berhubungan seks untuk ‘memberi kenikmatan’, namun sebagai ‘pencari kenikmatan’. Ia menggeser paradigma kaum patriarki yang menganggap kaum perempuan hanya sebatas untuk pemuas kaum lelaki dan ada hanya untuk melayani kaum lelaki. Djenar dengan Naylanya melakukan pemberontakan terhadap paham tersebut secara keras dan berhasil menjungkir balikan keadaan dengan karya-karya yang Djenar tulis.
Selain itu, kecerdikan Djenar yang patut diacungi jempol adalah gaya penceritaannya. Ia kerap menampilkan kebaruan dalam penceritaan, walaupun terkadang masih ada beberapa gaya penulisannya yang sama dan biasa. Seperti pada cerpen Nayla, Mimpi Nayla, Kosong, Petasan, Setan, dan Coffeewar. Ia menampilkan kesamaan paragraf pada awal dan menjelang akhir dengan tetap mengemas cerita dengan sangat menarik.
Gaya penceritaannya yang lebih menarik terdapat pada cerpen UGD. Setiap dua paragraph, kalimat pembukanya memiliki kesamaan kata kerja, namun berbeda keadaan. Hal ini dikemasnya dengan sangat baik menjadi sebuah runtutan cerita yang membuat pembaca berdecak kagum.
Ide-ide yang dikembangkannya dari kumpulan status twitter menjadi sebuah cerpen juga menarik. Djenar bukan hanya mengembangkan mentah-mentah sebuah status menjadi cerpen, tetapi ia menyiratkan makna status ke dalam makna cerpen. Oleh karena itu meskipun ada beberapa karya Djenar yang sulit untuk dimengerti, dapat kita mengerti setelah membaca dan memaknai status twitternya terlebih dahulu. Contohnya status twitter Djenar Bung, di hari ulang tahunmu yang cerah ini ada segumpal awan yang mengandung mendung. Mungkin ia tahu, saya masih berkabung yang dikembangkan Djenar menjadi cerpen berjudul Bung. Bagi yang tidak memaknai status twitternya terlebih dahulu, mungkin mereka hanya akan menganggap cerpen ini hanya dimaknai secara tekstual, tentang Ayah Nayla yang bernama Bungsuman. Namun setelah membaca statusnya dan mencermati bukunya baik-baik, saya mengetahui bahwa ada dua ‘Bung’ dalam kehidupan Djenar. ‘Bung’ yang terdapat pada cerpen sebagai Bungsuman (Ayah Nayla) dan ‘Bung’ Sjuman Djaya (Ayah Djenar).
Semua yang memiliki kelebihan pasti memiliki kekurangan tentunya, begitu juga dengan buku kumpulan cerpen Djenar yang berjudul T(w)ITIT! ini. Kekurangan yang dapat di tangkap adalah tentang tokoh-tokoh utama dalam karya Djenar. Ide dalam mengemas sebuah cerpen memang saya akui sangat hebat, namun tentang isi ceritanya yang membuat jenuh menjadi kekurangan dalam karya-karya Djenar. Dalam beberapa kumpulan cerpen yang dibuat Djenar, mengapa tokoh Nayla selalu ada? Mengapa hanya Nayla? Hal ini menimbulkan segudang pertanyaan untuk dicermati. Jika memang setelah ini tokoh Nayla muncul kembali, berarti bisa dipastikan Djenar Maesa Ayu itu hanya ‘mentok’ pada Nayla. Sangat disayangkan penulis cerdas seperti Djenar dibatasi oleh tokoh Nayla, yang padahal seharusnya ia bisa membuat cerita-cerita lain yang tidak kalah hebatnya dengan Nayla, malahan ada kemungkinan karya itu menjadi lebih dari Nayla.
Terlepas dari masalah perubahan tersebut, pastinya Djenar bukan orang yang mudah ‘mentok’ dalam setiap ide cerita. Mungkin saja ia memang ingin mempertahankan ideologinya tentang pemberontakan persamaan hak dengan dibantu oleh tokoh Nayla. Itu pun tidak menjadi permasalahan jika konflik-konflik yang sudah terjadi diubah. Mungkin ini dilakukan Djenar sebagai pencirian feminisnya. Seperti penulis-penulis feminis lain yang sudah mendapatkan jati diri atau penciriannya sendiri atau pun bagi penulis feminis yang masih mencari jati diri penciriannya. 


Kritik Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A Navis Oleh Fhatoni

Kritik Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A Navis
Oleh Fhatoni


Karya sastra adalah sajian bagi semua orang, di mana di dalam sebuah karya sastra terdapat berbagai nilai kehidupan dan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang, contohnya adalah nilai religius. Menyampaikan pesan religius lewat karya sastra bukanlah pekerjaan yang mudah, karena jika tidak berkenan dengan pikiran atau kepercayaan orang-orang yang membaca, maka karya sastra tersebut dianggap sebagai karya yang menyesatkan. Oleh karena itu dalam memasukan unsure-unsur atau nilai-nilai religius, perlu didukung oleh berbagai sumber yang terpercaya, selain itu perlu juga memikirkan selera pembaca.
Seperti dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A Navis. A.A Navis menyajikan cerpen yang bermuatan religius dengan sangat baik, beliau mengemas dengan amat hati-hati agar tidak terjadi kesalahpahaman dan dianggap sebagai karya sesat. Cerpen Robohnya Surau Kami, sebenarnya yang terjadi pada cerpen tersebut bukanlah tentang surau yang roboh atau runtuh – tetapi ideologilah keagamaan yang runduh.
Cerpen Robohnya Surau Kami menceritakan tentang seorang yang biasa dipanggil Kakek. Kakek adalah seorang yang tidak mempunyai pekerjaan, yang dilakukan setiap harinya adalah menjaga surau dan beribadah di surau tersebut. Kakek pandai mengasah pisau dan gunting, dan banyak juga yang meminta tolong kepadanya untuk diasahkan gunting atau pisaunya. Namun, ia tidak pernah meminta imbalan apapun, dan orang yang meminta tolong pun memberi imbalan seperti rokok, dan makanan. Kakek tidak mempunyai penghasilan dari mana pun, ia hanya mendapatkan dari sedekah dan uang-uang hari raya.
Sekarang surau itu sudah tidak terawat lagi, orang-orang yang mencabuti papan pada surau untuk keperluan pribadi, anak-anak kecil bermain di dalam surau, dan banyak pula yang mengambil bahan-bahan bangunan yang masih bisa dimanfaatkan. Sekali lihat pun orang-orang yang lewat di sekitar surau pasti mengetahui bahwa tidak lama lagi surau tersebut akan roboh. Itu semua dikarenakan tidak ada lagi yang mengurus surau, karena Kakek telah meninggal dunia.
Sebelum meninggal dunia, Kakek didatangi oleh Ajo Sidi, seorang pembual yang kerjanya hanya menyebarkan cerita-cerita yang tidak dapat dipercaya. Suatu hari Ajo Sidi mendatangi Kakek dan menceritakan tentang keadaan di neraka. Dia bercerita bahwa di saat penghitungan amal, terdapat seorang haji, yang bernama Haji Saleh. Tuhan bertanya pada Haji Saleh tentang kehidupannya dan Haji Saleh pun menjelaskan kehidupannya yang selalu taat beribadah dan selalu bertaqwa kepada Tuhan. Namun Haji Saleh dimasukan ke dalam neraka oleh malaikat atas perintah Tuhan. Haji Saleh yang tidak terima atas hukuman yang dijatuhi kepadanya memprotes kepada Tuhan. Akhirnya Tuhan menceritakan kenapa Haji Saleh dimasukan ke dalam neraka. Haji Saleh dimasukan ke dalam neraka karena semasa hidupnya, ia hanya memikirkan keadaan dirinya sendiri, tidak peduli terhdap keadaan di sekitarnya. Tuhan menganjurkan untuk beribadah dan beramal kepada yang kurang mampu, tetapi Haji Saleh hanya beramal kepada orang lain, namun keluarganya sendiri dilupakan. Kesalahan lainnya adalah Haji Saleh hanya beribadah dan malas bekerja sehingga tidak mempunyai apa-apa untuk diamalkan lagi, padahal sesungguhnya ia mampu bekerja dan beramal. Setelah mendengar kata-kata Tuhan, Haji Saleh dan pengikutnya yang ikut protes terdiam dan kembali dimasukan ke dalam neraka.
Mendengar cerita itu, Kakek secara tidak langsung merasa tersindir dan marah kepada Ajo Sidi. Kemudian sepeninggal Ajo Sidi, Kakek menjadi pemurung, berbeda dari tingkah lakunya yang biasa. Bahkan Kakek sempat mengasah pisau untuk menggorok leher si Ajo Sidi karena tersinggung dengan ceritanya.
Keesokan harinya, didapati kabar bahwa Kakek meninggal di surau. Keadaannya sangat mengerikan, ia menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur. Ajo Sidi menjadi orang yang pertama terjadi, mengingat karena ulah dialah Kakek bunuh diri, akibat dari cerita yang ia kabarkan. Namun setelah didatangi, Ajo Sidi tidak ada di rumah dan ketika ditanya istrinya menjawab bahwa suaminya sedang pergi bekerja.
Setelah membaca cerpen ini, saya seperti membaca kembali dongeng-dongeng anak muslim yang menceritakan sisi lain dari kehidupan beragama. Seperti yang diketahui,tokoh Kakek atau pun Haji Saleh dalam cerita Ajo Sidi mempunyai suatu kesamaan, yaitu orang yang hanya giat beribadah. Namun mereka berdua lupa akan perintah Tuhan yang sederhana, yaitu memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dibalik kesempurnaan yang tampak,di dalamnya pasti ada kecacatan besar yang tidak tampak.
Di dalam cerpen ini juga tersirat berbagai symbol, salah satunya adalah robohnya surau. Surau dapat diumpamakan sebagai suatu ideologi keagamaan Kakek yang runtuh seketika karena cerita Ajo Sidi. Berdasarkan hal ini,dapat disimpulkan makna sebenarnya yang ingin disampaikan oleh pengarang adalah keruntuhan ideology beragama akibat sebuah kesalahan kecil yang sangat fatal.
Melihat isi cerpen Robohnya Surau Kami, saya berpendapat bahwa unsur keagamaan yang ditampilkan sangat kental, oleh karena itu sangat memungkinkan bahwa pengarang, yaitu A.A Navis sangat cermat menuliskannya. Secara logika, tidak mungkin cerpen religius seperti ini dibuat oleh orang yang tanpa pengetahuan agama atau orang yang tidak taat beragama.
Nama panjang A.A Navis adalah Haji Ali Akbar Navis. Dilihat dari latar belakang nama pengarangnya dapat dipastikan bahwa ia adalah orang yang mengerti agama dengan baik. Sebab itulah yang membuatnya membuat cerpen religius. Mungkin ini adalah salah satu alasan A.A Navis membuat cerpen tersebut.
Melihat latar sejarah pembuatan cerpen Robohnya Surau Kami, cerpen ini dibuat sekitar tahun 1965. Di tahun ini pula terjadi peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia. A.A Navis selain seorang haji, dia juga seorang budayawan yang bergerak di bidang kemanusiaan. Mungkin dengan kedua alasan inilah cerpen Robohnya Surau Kami dibuat. A.A Navi menggabungkan antara unsure-unsur kemanusiaan dan keagamaan. Memang keduanya saling berkaitan erat, bagaimana sikap untuk memanusiakan manusia dan  saling tolong menolong antar umat beragama terdapat dalam ajaran agama manapun. Dan semua itu dikemas secara sinkronisasi oleh A.A Navis ke dalam bentuk cerpen. Sehingga batasan-batasan antar umat beragama secara tidak langsung hilang dan pesan ini bisa dikatakan mengandung amanat ke semua umat beragama, bukan hanya umat Islam.
Mungkin batasan agama yang terdapat dalam cerpen terdapat pada pemilihan kata ‘surau’. Kata ‘surau’ identik dengan tempat beribadah umat muslim. Sehingga bagi pembaca awam yang memeluk agama selain Islam merasa cerpen ini diperuntukan hanya untuk umat muslim saja. Seandainya kata ‘surau’ diganti dengan ‘tempat ibadah’ saja mungkin akan lebih menaikan nilai jual cerpen ini. Lalu kekurangan lainnya terdapat pada tokoh ‘aku’. Tokoh Aku pada cerpen ini seharusnya tidak perlu ditampilkan, karena tidak berpengaruh pada jalannya cerita atau bisa dikatakan “tanpa tokoh Aku, kejadian tetap terlaksana”. Jika tokoh Aku tidak ada, mungkin ini akan memperkecil kekurangan pada cerpen ini dan mencegah “pemborosan tokoh”. Gaya flashback yang dipakai juga terasa kurang tepat karena pembaca sudah mengetahui riwayat tokoh Kakek pada awal cerpen, gaya flashback ini justru mengurangi susspence pada cerita.

KRITIK CERPEN MALAM KELABU KARYA MARTIN ALEIDA DALAM KUMPULAN CERPEN KOMPAS EDISI DESEMBER 2003

KRITIK CERPEN MALAM KELABU
KARYA MARTIN ALEIDA DALAM KUMPULAN CERPEN KOMPAS EDISI DESEMBER 2003
oleh Tony Vasgard


Di dalam cerpen berjudul malam kelabu tersebut, diceritakan seorang pria bernama Kamaluddin Armada, yang mengalami petualangan mengelilingi lautan, dalam perjalannya yang telah berlabuh ke berbagai tempat, namun ia hanya dapat melabuhkan hatinya pada seorang gadis desa asal Soroyudan. Desa Soroyudan adalah desa yang berada dalam naungan sungai Bengawan Solo. Kamaluddin melakukan perjalanan ke desa tersebut, hanya demi gadis yang ia cintai demi meminang gadis pujaannya tersebut. Di dalam perjalannya ia bertemu seorang carik desa yang mengetahui asal usul gadis pujaannya tersebut. Carik tersebut menceritakan kepada Kamaluddin bahwa gadis pujaannya itu adalah putri petinggi gerakan 30 S/PKI. Namun Kamaluddin tidak merasa takut ataupun ragu setelah mendengar cerita itu, bahkan ia telah mengatahuinya langsung dari gadis pujaannya yang bernama Partini. Dan pada akhir perbincangan, terungkap bahwa si gadis pujaannya telah tiada.

Pengarang berhasil menampilkan latar dan keadaan di masa gerakan 30 S/PKI dimana pada masa itu, rakyat begitu antipati terhadap anggota dari gerakan tersebut. Selain dari latar, tema yang diangkatnya sangat menarik yakni perpaduan antara sejarah dengan kisah cinta yang begitu dalam. Banyak pesan yang ingin disampaikan dalam cerpen ini, salah satunya adalah pesan moral mengenai kemanusiaan, di mana setiap manusia sebenarnya memiliki hak untuk mendapatkan pengampunan atas dosa mereka dan balas dendam bukanlah sesuatu yang baik. Namun dari segi alur, tak ada yang spesial kecuali akhir yang begitu tragis dan penyelesaian yang tidak menimbulkan kesan yang mendalam seperti kisah cinta mendalam yang terdapat dalam cerita tersebut. Penyelesaian seperti itu sebenarnya akan menimbulkan suatu paradigma bahwa cinta yang mendalam dan tak tersampaikan harus selalu berakhir dengan kematian.

Setelah menilik unsur-unsur intrinsik di dalam cerpen tersebut, maka kita dapat melihat juga unsur intrinsik yang lain yaitu penokohan. Secara psikologi si tokoh Kamaluddin adalah tokoh yang memiliki sikap pemberontak dan memiliki jiwa petualang, dalam cerpen tersebut rasa berpetualangnya mengalahkan rasa hormatnya pada kedua orang tuanya. Bila menilik dari teori mengenai psikologi, maka kejiwaan dari si tokoh imajinatif tersebut sesuai dengan psikologi yang muncul dalam dunia riil. Ada sesuatu yang ingin ditekankan si pengarang dari psikologi si pengarang yang seperti itu, ia ingin menyampaikan pada dasarnya sikap berpetualang mengarungi samudra adalah tradisi dari masyarakat Indonesia sejak jaman nenek moyang dahulu.

Keaadaan psikologi yang dialami Partini, tunangan Armada sangat menakjubkan. Karena dengan tenangnya ia menceritakan masa lalu ayahnya yang seorang komunis kepada Armada. Bagaimana beban memiliki anggota keluarga seorang pimpinan komunis dan selalu dibenci oleh khalayak umum. Tapi penulis tidak menunjukan psikologi dari Partini tertekan, dia menggambarkan Partini seorang yang tabah dan selalu jujur apa adanya. Inilah salah satu nilai lebih dari cerpen ini, penulis berani merekonstruksi kejiwaan seseorang yang seharusnya tertekan namun, digambarkan dengan ketabahan.

Selain dari pada itu unsur psikologi yang muncul adalah, di mana ketika si tokoh utama yang tertekan karena kematian Partini kemudian memutuskan untuk bunuh diri. Tokoh utama, Armada memilih untuk bunuh diri karena dia sudah tidak menemukan kebahagiaan hidup, baginya kebahagiaan adalah tanggung jawab, tanggung jawab memikul beban keluarga Partini sebagai pengganti ayah Partini yang dibunuh. Dilihat dari ilmu psikologi, memang manusia yang berada di dalam keadaan tertekan cenderung akan melakukan hal di luar akal sehatnya. Itu pun terjadi pada tokoh Kamaluddin, tapi sebenarnya bila tidak melihat hal tersebut mungkin ceritanya bisa diakhiri tanpa harus ada penghabisan nyawa seperti itu.

Selain daripada psikologi tokoh utama, kita dapat melihat psikologi tokoh carik dan warga kampung tersebut. Pada dasarnya sifat manusia itu memang sulit untuk memberi maaf, terutama pada luka yang telah ditoreh begitu dalam, dendam bukanlah hal yang baik tapi tak ada manusia yang sempurna. Tokoh carik desa pun tak berdaya menahan warga yang mengamuk karena di lubuk hatinya yang terdalam ia pun tak kuasa menahan dendamnya pada tokoh molyaharja, ayah dari Partini. Namun di hati kecilnya tetap menyesalkan perbuatannya dan warga sekampung.

Secara keseluruhan cerita usamah ini adalah cerita yang menarik dan penuh pesan moral hanya kurang menarik pada akhir ceritanya. Pada dasarnya karya sastra adalah bentuk dari kemampuan seseorang dalam mencipta dan mengapresiasikan rasa, cipta dan karyanya. Jadi sebenarnya sah-sah saja cerita tersebut mau dibuat seperti kehendak pengarang, namun ada baiknya sastra pun memerhatikan pembacanya dan menekankan pesan dan amanat yang ingin disampaikan agar memberikan kesan yang mendalam dan memberikan manfaat pula bagi pembacanya. Latar belakang sejarah juga disampaikan dengan baik oleh penulis. Dia menggambarkan nasib orang-orang komunis saat itu, sehingga kita bisa merasakan keadaan psikologi mereka. Yang paling menarik menurut saya adalah penggambaran kejiawaan tokoh Partini. 


Minggu, 01 April 2012

ANALISIS STRUKTURAL PUISI KEPADA UANG KARYA JOKO PINURBO DENGAN PENDEKATAN SEMIOTIK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Puisi. jika berbicara tentang puisi akan banyak berbagai pendapat yang muncul mengenai puisi. Puisi adalah salah satu jenis karya sastra yang berisi ungkapan perasaan penyair, mengandung rima dan irama, serta diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat dan tepat. Bahasa yang dipergunakan oleh penyair harus dapat mewakili rasa dan pesan yang hendak disampaikan . Puisi juga merupakan hasil penggambaran tentang suatu hal yang diungkapkan melalui bahasa dan ekspresi yang mewakili perasaan sang penyair. hal ini diperlukan agar para pembaca bisa masuk dan memahami dan merasakan kekuatan jiwa penulis yang akan disampaikan melalui puisi tersebut.
Ralph Waldo Emerson mengatakan bahwa puisi merupakan upaya abadi untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan dan alasan yang menyebabkannya ada. Sedangkan menurut Lascelles Abercramble puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam upacara atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa, yang mempergunakan setiap rencana yang matang dan bermanfaat (Tarigan, 1984:5).
Dari pendapat-pendapat para ahli, dapat kita simpulkan bahwa definisi puisi menurut mereka memiliki sebuah kesamaan yaitu pengungkapan ekspresi dan jiwa. Puisi itu tercipta karena pengalaman atau sebaliknya. Bisa dikatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari segala pengalaman imajinatif yang dirasakan oleh manusia dalam hidupnya.
Puisi dapat dikaji dengan menggunakan berbagai macam pendekatan. Salah satu pendekatan yang sering digunakan untuk menganalisis puisi adalah teori yang diungkapkan oleh Abrams. Abrams membagi pendekatan itu menjadi empat, yakni:
1.    Objektif, suatu telaah dari sudut pandang karya itu sendiri.
2.    Ekspresif, suatu telaah dari sudut pandang pengarangnya.
3.    Mimesis, suatu telaah dari keterhubungan ide, perasaan, atau peristiwa yang berkaitan dengan alam, baik yang secara langsung atau pun tidak langsung.
4.    Pragmatik, suatu telaah yang ditinjau dari sudut pandang pembaca atau penerima.
Banyak orang yang menganggap pendekatan yang dikatakan oleh Abrams adalah pendekatan tradisional. Dikatakan tradisional karena sekarang pendekatan-pendekatang itu telah dikembangkan menjadi beberapa pengembangan. Pendekatan objektif telah dikembangkan menjadi pendekatan struktural yang terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah karya sastra. Pendekatan ekspresif telah dikembangkan menjadi psikologi sastra dan antropologi sastra. Pendekatan mimesis dikembangkan sehingga lahirlah pendekatan sosiologi sastra dan sastra marxis. Dan pendekatan pragmatik dikembangkan, lalu lahirlah pendekatan resepsi sastra dan hermeunetika.
Semiotik bisa diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang makna yang terkandung di dalam simbol, tanda dan lambang. Jan Mukarovsky dan Felix Vodicka (Teeuw, 1983:63) merupakan dua orang yang mengembangkan strukturalisme atas dasar konsep semiotik dengan pengertian dapat memahami sepenuhnya seni sastra sebagai struktur perlu diinsyafi ciri khasnya sebagai sebuah tanda (sign).   




1.2    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah yang berjudul Analisis Struktural dengan Pendekatan Semiotik Puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo adalah untuk memahami lebih dalam makna puisi yang ditulis oleh Joko Pinurbo dengan menggunakan pendekatan semiotik. Secara teoritis, tujuan penulisan ini dibagi menjadi dua tujuan pokok, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Dalam membaca sebuah puisi alangkah bijaksananya kita jika terlebih dahulu menganalisis puisi yang akan dibacakan guna memperdalam penghayatan dan penjiwaan saat kita membacakannya. Selain itu tulisan ini juga digunakan untuk memberikan gambaran khusus mengenai segala yang terkandung di dalam puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo kepada para pembaca, agar tidak ada kesalahpahaman di dalamnya.

1.3    Rumusan Masalah
Sebuah karya sastra, salah satunya puisi terkandung beberapa hal yang yang patut untuk dikaji, antara lain masalah tema, pendekatan, sudut pandang, dan tujuan diciptakannya puisi tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat diketahui perumusan masalah yang akan dikaji dalam puisi. Adapun rumusan masalah puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana struktur puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo?
2.    Bagaimana menganalisis makna pada puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo jika ditinjau dengan pendekatan Semiotik?
3.    Apakah pendekatan struktural dan pendekatan semiotik cocok untuk mengkaji puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo?










BAB II
LANDASAN TEORI


Dalam mengkaji puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo penulis menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan semiotik.
2.1     Pendekatan Struktural
Semua karya sastra adalah struktur. Struktur yang dimaksud adalah setiap karya sastra memiliki unsur-unsur yang mempunyai sistem. Semua unsur itu saling berhubungan, saling menentukan, adanya hubungan timbal balik, dan terikat. Unsur-unsur itu tidak dapat berdiri sendiri, karena jika tidak ada satu unsur yang mendukung tidak akan tercipta sebuah karya sastra.
Dalam pengertian struktur ini (Piaget via Hawkes, 1978:16) terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri (self-regulation). 
Analisis struktural sajak adalah analisis sajak ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam struktur sajak dan pengurain bahwa tiap unsure itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur. Dengan kata lain, sebuah unsur tidak akan memiliki makna jika tidak disertakan dengan unsur yang lain.
Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra (sajak) haruslah karya sastra (sajak) dianalisis (Hill, 1966:6). Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, karya sastra merupakan perpaduan unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, saling berkaitan dan koheren. T.S Eliot pernah mengemukakan (via Sansom, 1960:155) bahwa bila kritikus terlalu memecah-mecah sajak dan tidak mengambil sikap yang dimaksudkan penyairnya (sarana kepuitisan itu dimaksudkan untuk mendapat jaringan efek puitis), maka kritikus cendrung mengosongkan arti sajak (Pradopo, 1993:120). Jadi, untuk memahami sebuah sajak atau puisi, harus diperhatikan hubungan-hubungan antar unsur yang harus berkaitan, karena keterkaitan antar unsure itu sebagai bagian dari keluruhan karya sastra.

2.3    Pendekatan Semiotik
Semiotik diungkapkan oleh Rachmat Djoko Pradopo sebagai symbol atau tanda. Bahasa digunakan sebagai medium karya sastra sudah merupakan simbol atau tanda. Pada dasarnya bahasa atau kata-kata yang digunakan dalam karya sastra sudah menjadi sebuah lambang atau tanda yang memiliki makna tersendiri, yang telah ditentukan secara konvensional. Bahasa merupakan sistem ketandaan yang telah dimaknai menurut konvensi masyarakat. Sistem mengenai tanda atau simbol ini disebut semiotik atau semiologi.
Bahasa sebagai medium karya sastra bukanlah sebagai bahan yang bebas, namun bahasa itu sudah menjadi sebuah sistem semiotik. Penulis akan mencoba menganalisis puisi dengan teori yang dikemukakan oleh Riffaterre. Menurut Riffaterre, puisi adalah pemikiran baku yang dilakukan dengan medium bahasa sebagai tanda. Langkah-langkah dalam menganalisis sebuah teks menurut Riffaterre dibagi menjadi empat, yaitu:
1.    Pembaca diharuskan menemukan kata kunci yang terdapat dalam sebuah puisi atau karya sastra.
2.    Sebelum dilakukan pendekatan semiotik atau sistem ketandaan diharuskan membaca sesuai dengan struktur kebahasaannya.
3.    Pembaca juga dituntut membaca secara hermeneutik, yaitu pembacaan menurut maknanya.
4.    Pembaca harus menemukan hubungan intertekstualitas antara karya sastra tersebut dan juga mencari sumber teks,juga model varian.
Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam semiotik adalah sistem tanda, yaitu pengertian tanda itu sendiri. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antar penanda dan petanda yang bersifat alamiah. Indeks adalah hubungan alamiah antara penanda dan petanda yang memiliki hubungan sebab akibat. Sedangkan simbol adalah tanda yang tidak menunjukan sifat hubungan alamiah antara penanda dan petanda. Hubungan antara penanda dan petandanya bersifat arbiter atau semaunya yang telah ditentukan konvensinya oleh masyarakat.
Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur sajak atau hubungan internal antar unsur-unsurnya akan dihasilkan berbagai macam makna. Kritikus menyendirikan satuan-satuan yang berfungsi dan konvensi-konvensi yang berlaku (Preminger dkk., 1974:981). Alur, setting, penokohan, satuan-satuan bunyi, kelompok kata, kalimat atau gaya bahasa, satuan fisual seperti tipografi, enjambement, bait, merupakan contoh dari satuan-satuan dari fungsi dan konvensi sastra yang berlaku. Seperti yang diungkapkan oleh Culler dalam bukunya The Pursuit of Signs (1981), member makna sajak atau puisi itu adalah mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya maknsa sebuah sajak, maka menganalisis sastra itu tidak lain adalah memburu tanda-tanda (pursuit of signs).
Puisi secara semiotik seperti yang telah dijelaskan merupakan struktur tanda-tanda yang memiliki makna yang telah ditentukan dan disepakati oleh konvensi. Menganalisis sajak atau puisi adalah berusaha memahami arti dari sebuah kata dalam bahasa. Namun bukan hanya sekedar arti menurut kebahasaan saja, melainkan arti yang menurut konvensi sastra yang bersangkutan (Pradopo, 1993:123).


BAB III
PEMBAHASAN

Analisis Struktural
Puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo dengan
Pendekatan Semiotik

KEPADA UANG
Joko Pinurbo
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2) 
yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)

Sabar ya,aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6) 
Uang berilah aku ranjang yang lugu saja. (7)
yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8) 
yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)
-2006-
3.1    Pendekatan Struktural
Sebelum melangkah ke berbagai pendekatan dalam pengkajian sebuah puisi kita diharuskan menggunakan pendekatan awal dalam penelitian karya sastra, yaitu pendekatan struktural. Begitu juga dengan puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo ini terlebih dahulu akan dianalaisis dengan menggunakan pendekatan struktural yang terdiri dari empat hakikat puisi, yaitu tema, perasaan, nada dan suasana, serta amanat.
a.    Tema
Tema merupakan gagasan utama atau ide pokok yang terdapat dalam sebuah puisi yang ingin diungkapkan oleh penyair. Tema yang terkandung dalam puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo adalah kemiskinan. Kemiskinan yang mengharapkan datangnya uang hasil, tetapi bukan dalam jumlah yang besar, melainkan yang cukup untuk melangsungkan hidupnya secara sederhana.
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2) 
yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Dari larik ke-1 jelas sekali si aku memang menginginkan rumah. Tetapi si aku tidak meminta yang mewah, melainkan lebih menginginkan sebuah kesederhanaan. Pada larik ke-2, kata “cukup” sudah menggambarkan bahwa si aku bukanlah orang yang tamak, hanya menginginkan kelayakan.

b.    Perasaan
Perasaan merupakan kehendak yang ingin diungkapkan oleh penyair. Perasaan juga mrujuk kepada isi hati sang penyair, bagaimana suasana hatinya saat membuat sebuah puisi. Perasaan yang terkandung dalam puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo adalah kesedihan dan kesabaran. Kesedihan dan ketabahan itu tergambarkan pada larik  ke-4, 5, dan 6.
Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
Ketabahan si aku jelas terlihat, si aku harus menabung segala yang dia punya, bahkan kesehatan.  Hal itu dilakukan oleh sang aku dikarenakan ia menginginkan kekuasan yang dilambangkan dengan uang.



c.    Nada dan Suasana
Nada merupakan sikap penyair terhadap para pembaca, sedangkan suasana merupakan keadaan jiwa yang ditimbulkan oleh puisi tersebut kepada para pembaca. Jika membaca puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo akan terlihat bagaimana nada yang akan dipakai saat mengucap larik-lariknya. Penulis merasakan nada seperti si aku sedang berdoa, berdoa kepada uang agar datang kehadapannya. Selain itu juga ada larik yang jika dibacakan sangat sesuai dengan nada menenangkan, dan nada sedih.

•    Nada seakan berdoa terlihat pada larik ke-1 dan larik ke-7, yaitu:
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
•    Nada yang terkesan menenangkan, yang terdapat pada larik ke-4, yaitu:
Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
•    Nada yang terlihat sedih yang terdapat pada larik ke-5 dan ke-6, yaitu:
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
•    Nada yang terlihat berkuasa, terdapat pada larik ke-7, larik ke-8, dan larik ke-9 yaitu:
Uang berilah aku ranjang yang lugu saja. (7)
yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8) 
yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

d.    Amanat
Amanat merupakan suatu hal yang mendorong penyair untuk menciptakan sebuah puisi. Dengan kata lain, amanat adalah pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh penyair melalui puisi buatannya. Amanat yang terkandung dalam puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo adalah jangan selalu bergantung kepada uang. Jika memang ingin berdoa untuk sebuah kebaikan yang ingin dicapai, janganlah selalu mendewakan uang. Karena uang belum tentu hal terbaik untuk mencapai kebahagiaan. Uang juga bisa membuat kita berkuasa dan lupa akan kuasa atas diri kita sendiri. Dengan uang kita bisa memiliki apa pun, tetapi uang tidak bisa membeli hati manusia. Walaupun untuk kebaikan, tapi janganlah kau gunakan kekuasaan itu hanya untuk diri sendiri, jadikan diri kita berguna bagi orang lain.

3.2    Pendekatan Semiotik
Semiotika adalah suatu metode analisis yang menitikberatkan penelitian terhadap tanda-tanda. Tentu saja bukan hanya sekedar tanda biasa, melainkan tanda yang memiliki makna yang berdasarkan konvensi yang berlaku di masayarakat.

Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)

Uang, ditinjau dari segi kebahasaan adalah sebuah alat pertukaran untuk membeli barang-barang, sebagai alat transaksi, dan juga penimbun harta kekayaan. Dalam puisi ini uang disimbolkan sebagai tuhan. Si aku ketika menginginkan sebuah rumah ia tidak berdoa kepada tuhan, melainkan berdoa kepada uang. Seolah-olah ia telah menjadikan uang sebagai tuhan. Jika ingin membeli suatu barang, konvensinya adalah menggunakan uang, tetapi di dalam puisi ini uangnya lah yang dijadikan tempat untuk memohon. Uang juga dapat disimbolkan sebagai penguasa, karena ada segelintir orang yang beranggapan uang adalah segalanya. Uang dalam puisi menempati posisi yang penting, yaitu menentukan nasib kehidupan orang. Penyair menggambarkan kata “uang” pada larik ke-1 sebagai Tuhan yang selalu dipuja-puja oleh si aku.

yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2) 
yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Senja merupakan peristiwa terbenamnya matahari di ufuk barat. Menghilangnya matahari dan menandakan kepergian sore hari menjadi malam yang gelap.  Senja juga identik dengan warna kuning kemerahan. Warna itu kuning kemerahan itu juga terlihat sangat sendu. Senja dalam puisi ini dimaknai sebagai masa tua. Manusia yang sudah tua hamper sama dengan matahari yang akan pergi karena digantikan oleh bulan. Dalam puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo kata “senja” pada larik ke-2 digambarkan oleh penyair sebagai masa tua si aku. Sedangkan “jendela hijau yang menganga seperti jendela mataku” menggambarkan ketentraman, suatu kedamaian jiwa dan raga yang ingin dirasakan oleh si aku.

Sabar ya,aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
Sang penyair menggambarkan tokoh aku rela menyimpan rasa lapar dan menunda mimpi demi bergelut dengan uang. Bersakit-sakit hanya untuk mendapatkan uang dan menelantarkan yang lain.

Uang berilah aku ranjang yang lugu saja. (7)
Seperti yang sudah dijelaskan pada awal analisis, uang jika ditinjau dari segi kebahasaan konvensional adalah sebuah alat pertukarang barang, alat jual beli, dan sebagai alat penimbun kekayaan. Namun penyair menulis kata “uang” pada larik ke-7 puisi ini melambangkan symbol kekuasaan. Sedangkan kata “ranjang” dalam segi bahasa adalah tempat untuk istirahat dan melepas lelah. Kata “ranjang yang lugu” jika disimbolkan oleh penyair dalam puisi Kepada Uang adalah sebagai seorang istri yang menuruti perintah sang aku. Jika dilihat secara keseluruhan, larik ke-7 dapat dikatakan seorang aku jika mendapat kekuasaan dengan uang ia bisa mendapatkan kekuasaan penuh atas istri yang akan ia miliki.



yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Hangat jika diartikan dalam kebahasaan adalah rasa yang tidak panas dan juga tidak dingin. Biasa digunakan untuk menggambarkan air dalam konvensi kebahasaan. Tetapi dalam konteks puisi ini, penyair menggambarkan “hangat” melambangkan sebagai sentuhan yang lembut dari seorang istri (simbol ranjang dari larik ke-7). “Encok” dalam bahasa diartikan sebagai sebuah penyakit yang sering diderita kaum lansia. Encok adalah nama penyakit yang menyerang daerah sekitar pinggang dengan rasa sakit dan ngilu luar biasa. Namun, dalam konvensi sastra yang dibangun penyair, kata “encok-encok” pada larik ke-8 puisi Kepada Uang diartikan sebagai masa tua, karena rata-rata penyakit itu hanya menyerang kaum lansia dan penyair mengartikannya sebagai masa tua.

yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)
Pada larik ke-9, penyair menggambarkannya sebagai kenangan masa kecil si aku. Ia membayangkan ia masih seperti masa anak-anak yang dimanja. Kata “kakinya” (istri yang didambakan si aku) dapat memanjakan si aku seperti masa kecilnya.

BAB IV
PENUTUP
4.1    Kesimpulan
Analisis struktural sajak adalah analisis sajak ke dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam struktur sajak dan pengurain bahwa tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur. Dengan kata lain, sebuah unsur tidak akan memiliki makna jika tidak disertakan dengan unsur yang lain.
Puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo jika ditinjau dengan analisis struktural bertemakan tentang kemiskinan dan kesederhanaan yang berdampak menjadi kekuasaan atas orang lain. Perasaan dalam puisi ini bermacam-macam, salah satunya adalah kesedihan dan keinginan kuat untuk mendapatkan kekuasaan. Nada dan suasana dalam puisi ini juga beragam, ada yang bernada sedih, terkesan menenangkan, seperti memanjatkan doa, lalu berkuasa. Amanat yang terkandung dalam puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo adalah jangan selalu bergantung kepada uang. Jika memang ingin berdoa untuk sebuah kebaikan yang ingin dicapai, janganlah selalu mendewakan uang. Karena uang belum tentu hal terbaik untuk mencapai kebahagiaan. Uang juga bisa membuat kita berkuasa dan lupa akan kuasa atas diri kita sendiri. Dengan uang kita bisa memiliki apa pun, tetapi uang tidak bisa membeli hati manusia. Walaupun untuk kebaikan, tapi janganlah kau gunakan kekuasaan itu hanya untuk diri sendiri, jadikan diri kita berguna bagi orang lain.
Jika ditinjau dengan pendekatan Semiotik, yaitu menganalisis sebuah tanda yang memiliki makna dalam puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo banyak menggunakan tanda dan symbol. Salah satunya adalah “uang”, yang menjadi symbol sebuah kekuasaan dan penguasa. Kata “senja” dilambangkan sebagai masa tua, begitu juga dengan istilah “encok-encok” yang digambarkan sebagai masa tua pula. Lalu “jendela hijau” dilambangkan sebagai symbol ketentraman dan kedamaian yang diinginkan si tokoh aku. Sedangkan “ranjang yang lugu” dapat diartikan sebagai seorang istri yang selalu menurut kepada sang suami (tokoh aku). Analisis struktural cocok digunakan untuk mengkaji semua puisi, bahkan semua pendekatan yang akan dilakukan terhadap karya sastra harus menggunakan analisis struktural. Sedangkan melalui pendekatan semiotik, memang terasa sedikit sukar untuk mengetahui makna-makna setiap simbol  yang terkandung di dalam puisi Kepada Uang karya Joko Pinurbo, tetapi bisa dikatakan puisi ini bisa dikaji dengan pendekatan semiotik, karena penulis makalah telah berhasil menganalisis puisi ini dengan pendekatan semiotik.

DAFTAR PUSTAKA

Anoegrajekti, Novi dkk. 2008. Estetika. Jakarta: UNJ Press
Djojosuroto, Kinayati. 2007. Dasar-dasar Teori Apresiasi Puisi. Jakarta: UNJ
Pinurbo, Joko. 2007. Kepada Cium. Jakarta: PT Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suhita, Sri. 2009. Kajian Puisi. Jakarta: UNJ

Representasi Perempuan dalam Cerpen Mami karya Helvy Tiana Rosa

Teori Feminisme
Sastra merupakan cerminan hidup dan pikiran masyarakat. Dengan karya sastra pengarang dapat mengungkap berbagai hal yang terjadi di masyarakat. Cerpen merupakan salah satu karya sastra yang banyak mengungkapkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat, mengaitkan hal-hal yang terjadi dan menghubungkannya ke dalam karya sastra. Dalam membuat karya sastra, pengarang juga melihat unsure-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Adapun unsur-unsur intrinsiknya adalah tema, tokoh, alur, latar, dan amanat. Unsur yang terdapat pada ekstrinsik diperlukan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, filsafat, dan sebagainya.
Dalam sebuah cerpen juga terdapat unsur seperti humanism, feodalisme, nasionalisme, maupun feminism. Dari semua unsure tersebut, yang paling menarik untuk dibahas adalah feminisme. Dalam masyarakat patriarki, sosok pria dipandang sebagai pemimpin. Sedangkan wanita hanyalah dipandang sebagai makhluk lemah dan sebagai pelengkap kehidupan, hak-hak asasinya terabaikan dan seringkali mengalami penindasan. Feminism muncul sebagai respon terhadapt budaya patriarki yang selama ini menindas kaum hawa di semua bidang. Akhir-akhir ini gerakan kesetaraan jender mulai disuarakan, baik itu dalam wujud nyata maupun dalam karya sastra.
Feminisme merupakan upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan, sasaran feminisme pun bukan sekedar masalah gender, melainkan masalah kemanusiaan atau memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. Gerakan perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan – baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan social pada umumnya, itulah feminisme.
 Konsep penting yang harus dipahami dalam mengkaji perempuan adalah konsep seks dan konsep gender. Pengertian seks atau jenis kelamin merupakan penyifatan secara biologis, sedangkan konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural.
Kajian wanita dalam hubungannya dengan kesusastraan dapat dilihat dari dua sisi. Sisi pertama, dari sisi karya sastra terdapat ketimpangan tentang kedudukan wanita. Sisi kedua, dari sisi teori pendekatan terhadap karya sastra. Berdasarkan teori ini, pengkritik feminis ingin mengembangkan dan memperkenalkan pola kritik sastra feminis dan mengembangkan mata pelajaran tentang tulisan wanita, serta mendirikan penerbitan feminis agar dapat memuat karya-karya dari penulis wanita (Djajanegara, 2007: 17-19).
Annete Kolodny (Djajanegara, 2007: 17-19) merumuskan definisi kritik sastra feminis, yaitu membeberkan wanita menurut stereotip seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra dan menunjukan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai yang telah dipakai dalam mengkajia tulisan perempuan adalah tidak adil dan tidak peka.
Berdasarkan batasan itu, ia mengemukakan beberapa tujuan dari kritik sastra feminis:
1.    Kritik sastra feminis dapat menafsirkan serta menilai kembali karya sastra yang dihasilkan pada masa lampau. Dengan demikian, karya sastra feminis menjadi alat baru untuk mengkaji dan mendekati suatu teks karya sastra.
2.    Sastra feminis haruslah dapat membantu kita memahami, menafsirkan dan menilai karya-karya sastra rekaan penulis itu sendiri.
3.    Menyangkut cara penilaian karya sastra. Pada dasarnya segalah hal yang menyangkut ke-tradisionalan dikuasai oleh kaum kritikus sastra laki-laki. Oleh sebab itu cara atau sudut pandang seperti itu tidak lagi memadai untuk menilai tulisan-tulisan pengarang wanita dan tookoh wanita dalam karya sastra.

Dalam penelitian perlu diangkat masalah-masalah sebagai fokus penelitian melihat peranan dan karakter tokoh (perwatakan tokoh) wanita. Kita dapat mengkaji bagaimana peranan dan karakter tokoh-tokoh wanita dalam karya-karya sastra di Indonesia. Salah satu fokus, dua fokus, maupun 3 fokus dapat dijadikan pusat kajian, terutama dalam mengkaji karya-karya yang ditulis oleh penulis wanita.
Jika kita memandang feminisme dalam bidang luas, terdapat beberapa masalah yang bsa dikaji dengan pendekatan ini. Yang dikaji dalam hubungannya dengan tokoh wanita adalah:
a.    Peranan tokoh wanita dalam karya sastra itu baik sebagai tokoh protagonist, antagonis, maupun tokoh bawahan.
b.    Hubungan tokoh wanita dengan tokoh-tokoh lain, yaitu tokoh laki-laki dan tokoh wanita lain.
c.    Perwatakan tokoh wanita, cita-citanya, tingkah lakunya, perkataannya, dan pandangannya terhadap dunia dan kehidupan.
d.    Sikap penulis atau pengarang wanita dan pengarang laki-laki terhadap tokoh wanita.



Pembahasan
Penulis akan mencoba mengkaji cerpen Mami karya Helvy Tiana Rosa dengan pendekatan feminisme. Menurut penulis, cerpen ini sangatlah cocok untuk dikaji dengan pendekatan feminisme. Berikut ringkasan cerita dari cerpen yang berjudul Mami.
Cerita ini mengisahkan tentang seorang perempuan muslim berusia 20 tahun, yang menuntut ilmu di Universitas Indonesia. Perempuan ini bernama Evi, yang memiliki dua orang adik dari tiga bersaudara. Papinya berdarah Aceh sedangkan Maminya berdarah Cina, karena itu Evi memiliki kulit berwarna gelap warisan dari Papinya, warisan dari Maminya hanyalah matanya yang sipit.
Evi diperlakukan seperti anak kecil oleh Maminya, segala keperluan dan kebutuhan diurusi oleh Maminya. Bukan hanya Evi yang mendapat perlakuan seperti itu, namun semua adik-adiknya pun diperlakukan sama. Kepedulian Maminya yang terlalu berlebihan itulah yang dianggap Evi sebagai kekurangan yang dimiliki Maminya.
Karena diperlakukan seperti anak kecil, Evi mulai bosan dan mengadukan perlakuan Maminya yang berlebihan kepada Papinya, namun ia hanya mendapat respon senyuman dari Papinya yang dilanjutkan dengan tawa.
Suatu ketika Maminya jatuh sakit, Evi merasa kesepian dengan suara-suara Maminya. Ia merindukan ketika saat suara Mami memperlakukannya sebagai seorang anak kecil. Akhirnya ia merasa bersyukur dan bersabar atas kelakuan Maminya. Dia sadar betapa baik dan tiada bandingannya dengan wanita manapun yang pernah ditemuinya.

Tokoh utama yang terdapat dalam cerpen Mami ialah Evi, seorang perempuan dan Mami. Dalam cerpen tersebut semua menceritakan tentang perempuan, hanya saja ada sedikit dialog Papi yang menghiasi. Evi, digambarkan seorang perempuan muslim yang memakai jilbab dan teman-teman di kampusnya juga mengenakan jilbab.
Jarang ada cerpen yang memiliki tokoh perempuan semua seperti cerpen Mami ini. Di dalam cerpen ini, terlihat perempuan yang berkuasa dan tidak terjadi gangguan atau permasalahan dalam kedudukannya di rumah tangga. Justru pihak perempuanlah yang mengendalikan alur cerita dari awal hingga akhir. Di certa pun dipaparkan bahwa seorang Papi tidak mampu menasehati seorang Mami, ketika si anak (Evi) meminta bantuan Papinya agar menasehati Mami agar tidak berkelakuan secara berlebihan terhadapa dirinya. Berikut penggalan cerpennya:

 Gf
Pada dasarnya peranan seorang istri hanyalah mengenal dapur, mengurus anak, dan suami. Namun di sini terjadi pemberontakan terhadap ideology-ideologi tersebut. Budaya-budaya daerah dinamika keluarga pun runtuh ketika seorang istri yang berkuasa atas suami. Namun di cerpen ini, pihak suami berterima atas kuasa sang istri. Hal ini ditandai dengan tokoh Papi yang menjawab sambil tertawa kecil pertanyaan anaknya tentang tokoh Mami.
Dalam hukum adat dan budaya pun tidak diperkenankan seorang anak – wanita pula bertanya langsung kepada ayahnya menceritakan tentang kekurangan ibunya sendiri. Namun di cerpen Mami, semua ideologi tersebut dihilangkan. Sebuah keluarga yang pada dasarnya seperti sebuah  kerajaan – kekuasaan mutlak berada di tangan raja atau dalam hal ini adalah suami, sudah berubah total. Kekuasaan bisa berpindah ke tangan istri dan suami hanya bisa mengiakan kata-kata sang istri.
Saat berbicara pada Papi, tokoh Evi mentap muka lawan bicaranya yang lebih tua. Tidak ada lagi berbicara tanpa melihat muka lawan bicara yag lebih tua seperti tradisi adat Jawa kuno – yang menganggap tidak sopan jika menatap langsung lawan bicara yang lebih tua. Di cerpen ini semua bertolak belakang, dalam keluarga entah laki-laki maupun perempuan  bebas berbicara, namun tetap dibatasi olh sopan santun kepada orang yang lebih tua.
Pada dasarnya feminisme tidak ditentukan oleh esensi anatomis atau jenis kelamin, namun ditentukan oleh konstruksi gender secara sosial dan budaya. Para feminis berpendapat bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan didasari konstruksi gender secara sosial budaya oleh institusi patriarkal seperti keluarga, sekolah, gereja, dan media ketimbang oleh kategori biolois esensial yang mendahului pengaruh sosial dan budaya (Spivak, 2008:205).
Seperti dalam cerpen Mami, tokoh utama, Evi merasa tidak nyaman dengan perlakuan Maminya karena diperlakukan berlebihan dalam berbagai hal. Namun, ketidaknyamanan tokoh perempuan (Evi) bukan dikarenakan oleh tokoh laki-laki yang biasanya terjadi dalam budaya patriarki. Ketidaknyamanan Evi terjadi karena tokoh Mami, ibunya sendiri yang terlalu berlebihan perhatiannya.

Jumat, 30 Maret 2012

Semut Pekerja dan Semut Prajurit


Kondisi semut Pekerja semakin memburuk. Beberapa butir makanan tergeletak di atas meja tak tersentuh olehnya. Tubuhnya kian kurus digerogoti berbagai macam penyakit karena kondisi tubuhnya yang lemah. Kegiatannya pun terbengkalai, yang bisa ia lakukan saat ini hanya merenung dan meratapi perbuatan sahabatnya, si semut Prajurit.
Beberapa hari yang lalu semut Prajurit yang gagah menjaga lumbung persediaan makanan. Tubuhnya tegap bagaikan Prabu Anglingdarma yang mampu menjinakan burung garuda raksasa. Badan pendeknya pernah memimpin satu koloni semut prajurit dalam peperangan menghadapi pasukan belalang di celah ranting pohon kapuk.
Suatu malam semut Prajurit diberi mandat oleh Ratu Semut untuk menjaga sebuah tempat yang paling penting di koloni semut, yaitu lumbung persediaan makanan. Lumbung itu digunakan untuk menyimpan makanan hingga musim dingin nanti.
Sekonyong-konyong ekspresi wajah semut Prajurit beruba menjadi panik. Ternyata beberapa karung makanan telah hilang, entah bagaimana itu bisa terjadi. Padahal matanya tidak lepas sedetik pun dari lumbung tersebut.
“Celaka, ada beberapa karung makanan yang hilang, lantas apa yang harus aku perbuat? Apa yang harus aku katakan pada paduka Ratu?” semut meah berjalan mondar-mandir di depan lumbung dengan suasana hati yang kalut. “Oh iya, aku kan mempunyai sahabat yang baik hati, penyabar dan rendah diri. Hahaha...”, semut Prajurit tertawa lantang, nampaknya ia mendapatkan sebuah rencana.
Kemudian semut Prajurit menemui sahabatnya, semut Pekerja yang sedang bersitirahat di sebuah daun. Ia menghampiri dengan wajah yang memelas. Semut pekerja yang sedang beristirahat kaget melihat sahabatnya begitu lesu.
“Wahai sahabatku semut Pekerja, maukah kamu menolongku sejenak?” pinta semut Prajurit dengan lembut. Raut muka semut Prajurit dibuat sedemikian rupa hingga setiap semut yang memandangnya kadang merasa iba.
“Baiklah sahabatku, dengan senang hati aku akan menolongmu, karena enkaulah sahabat terbaikku.” jawab semut pekerja dengan tulus. “Apa yang harus aku lakukan sehingga bisa menghibur dan membuatmy senang?” tambah semut Pekerja.
“Permintaanku sangatlah mudah wahai sahabatku, kau hanya pelu menggantikan tugasku menjaga lumbung persediaan makanan untuk musim dingin sebentar saja,” kata semut Prajurit dengan raut wajah memohon dan memelas. Padahal di dalam hatinya tergambar perasaan puas dan gembira karena terbebas dari sebuah masalah. “Kau cukup menggantikan tugasku selama 30 menit setelah itu akan datang menemuimu kembali, dan tugasmu pun selesai dan kau telah membuat aku merasa bangga padamu. Bukankah kau sahabat terbaikku wahai semut Pekerja?” kata-kata manis pun terucap dari mulut semut Prajurit.
Dengan segala kerendahan hati dan ketulusan yang mendalam, semut Pekerja menerima pekerjaan untuk menolong sahabatnya itu. Dengan senyuman ia menolong, dengan senyuman ia bekerja, dan dengan senyuman pula ia membantu sahabat karibnya tanpa mengetahui apa sebenarnya niat sahabatnya itu.
Waktu berjalan singkat, tak terasa sudah 30 menit berlalu sejak semut Pekerja menjaga lumbung itu untuk menggantikan pekerjaan sahabatnya. Sekonyong-konyong datang sahabatnya, semut Prajurit bersama beberapa semut pengawal, juga sang paduka Ratu turut datang bersamanya.
Ratu semut memerintahkan beberapa pengawal menangkap semut pekerja. Tanpa pikir panjang lagi, pengawal-pengawal itu pun segera menangkap dengan kasar, menyergap sigap semua gerakan tubuh semut Pekerja, bak seekor singa yang tengah menerkam mangsanya, menelan semua dengan matanya, dan mengoyak semua dengan taringnya.
Ia berusaha berontak namun berkali-kali gagal, ia meminta pertolongan kepada sahabatnya namun kembali gagal. Yang tersisa sekarang hanya air mata yang berlinang mengalir keluar melalui celah kedua bola matanya. Putus asa pun menyapanya, ia hanya bisa pasrah menerima.
Ketika semut Pekerja menanyakan alasan mengapa ia ditangkap, dan ia mendapatkan alasan yang sangat mengejutkan. Semut Pekerja ternyata dituduh mencuri pasokan makanan untuk musim dingin yang disimpan di lumbung persediaan makanan. Terlebih lagi yang membuatnya tambah shock adalah yang melakukan semua ini adalah sahabat karibnya sendiri, semut Prajurit.
“Tidak mungkin, aku bukan pelakunya! Aku hanya menggantikan tugas sahabatku saja!” bantah semut Pekerja membela diri. Batinnya terpukul mendengar perkataan sang Ratu, dan pembelaannya sia-sia belaka. Kepedihannya bertambah pekat karena melihat sahabatnya hanya bisa tersenyum sinis kepadanya.
Alhasil, semut Pekerja pun dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan mencuri makanan dari lumbung persediaan makanan musim dingin. Kondisi jiwa dan raga semut Pekerja menurun drastis saat ia dimasukan ke dalam penjara.
Waktu berjalan, hari pun kian berganti. Berita tentang kondisi semut Pekerja pun sampai ke telinga semut Prjaurit. “Aku tak menyangka bahwa akibatnya bisa separah ini, aku menyesal telah melakukan ini kepada sahabatku sendiri. Pokoknya aku harus meminta maaf kepadanya saat ia keluar dari penjara nanti, meski kemungkinan tidak akan dimaafkan aku akan tetap mencoba.” gumam semut Prajurit yang merasa bersalah akibat perbuatan yang telah dilakukannya.

Tahun demi tahun berlalu sejak kejadian menyedihkan itu. Semut Pekerja sudah dibebaskan dari penjara namun kondisi jiwa dan raganya sangatlah parah, bahkan seperti semut yang sedang menghadapi sakaratul maut. Keadaan bertambah ketika ia pulang ke rumahnya, semua tetangga dan temannya yang dulu sangat akrab dengannya kini telah mengucilkannya. Kini dia adalah semut yang dikucilkan, dibuang, dan dicerca oleh setiap semut.
“Aku datang untuk memohon maaf atas semua kesalahan yang telah aku perbuat padamu, wahai sahabat karibku semut Pekerja. Dengan segala hormat aku membuang semua martabat dan harga diriku demi kamu seorang sahabatku,” sapa semut Prajurit ramah untuk meminta maaf. Kata-katanya lembut bagaikan sang singa yang telah mencukur bulu serta rambut yang menjadi mahkota kekuasaan atas semua hewan.
“Wahai sahabatku yang baik, aku sangat menghormatimu sampai sekarang dan terus sampai nanti, dan aku juga menghargai niat baikmu untuk meminta maaf secara tulus kepadaku. Tetapi, maukah kau melakukan satu hal untukku?” tanya semut Pekerja lembut dan lesu.
“Aku bersedia melakukan apa pun yang kau inginkan wahai sahabatku, sebutkanlah apa permintaanmu!” balas semut Prajurit tegas dan penuh kesiapan.
“Ambillah bantal kapuk yang berada di bawah tempat tidurku ini. Bawalah ke atas pohon rambutan itu, sesampainya di atas kau sebarkanlah helai demi helai kapuk yang kau bawa itu!” perintah semut Pekerja sambil menunjuk ke arah pohon rambutan itu berada.
Tanpa pikir panjang semut Prajurit melakukan semua yang diminta sahabatnya. Dia mengambil bantal kapuk, lalu membawanya ke atas pohon rambutan, dan mulai menyebarkannya ke segala arah. Kapuk pun berterbangan menuju angkasa luas tanpa ada yang mengetahui tujuannya.
“Apakah kau sudah melakukan semua yang aku pinta sahabatku?” tanya semut Pekerja.
“Sudah wahai sahabatku yang ramah, aku sudah melakukannya sesuai dengan petunjukmu,” balas semut Prajurit
“Kalau begitu, ambilah helaian kapuk yang tadi kau tebarkan dan susun kembali menjadi sebuah bantal!” jawab semut Pekerja lembut namun tegas.
“Mana mungkin itu aku lakukan? Aku tidak bisa mengumpulkan semua kapuk itu kembali. Maaf beribu maaf sahabatku, aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu yang satu ini,” jawab semut Prajurit terheran-heran.
“Begitu juga dengan perbuatan yang kau lakukan kepadaku, kau telah mencemarkan nama baikku di depan Ratu, di depan tetangga, teman dan semua semut, bahkan kau jebloskan aku ke penjara dengan memfitnahku,” semut Pekerja meluruskan semua permasalahan yang dialaminya. “Semua perbuatan yang kau lakukan sudah tidak bisa dikembalikan lagi seerti sedia kala, lalu apa gunanya minta maaf sekarang, jika aku sudah memaafkanmu apa ada yang berubah?” tambah semut Pekerja.
Semut Prajurit terpana mendengar jawaban sahabat karibnya, semut Pekerja. Mulut dan tubuhnya kaku memandang lesu pada perbuatan yang dilakukannya di masa silam. Hanya linangan air mata yang memberontak keluar dari kelopak matanya.


Curug Cilember, 27 Juni 2010
14:49